Net9.com - Ruslandi, pengacara terdakwa perkara pencabulan oknum guru ngaji terhadap anak dibawah umur, dan Toni selaku Kuasa Hukum korban, memberikan tanggapan terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Indramayu, dalam sidang yang tertutup untuk umum, di Pengadilan Negeri Indramayu, Kamis (30/09/2021).
Berikut tanggapan Ruslandi ketika dihubungi melalui telepon selular, pada Kamis malam (30/09/2021).
“Tuntutan JPU sudah profesional ya, dalam berbagai perkara tidak selalu tuntutan sebagaimana Ancaman Hukuman dalam Undang – Undang. Tentu kita semua prihatin atas kejadian apapun yang menelisik nurani, Hukum Positif kita menganut azas Presumption Of Innocense, sehingga selama Vonis hakim belum dijatuhkan seseorang tidak bisa dinyatakan bersalah,” kata Ruslandi.
“Walaupun ada pengakuan pelaku, namun harus didukung dengan alat bukti lain, jaksa sudah profesional dan saya sangat mengapresiasi, artinya seiring dengan harapan. Tentu saya sebagai Kuasa Hukum pelaku sejak awal Jaksa mendakwa terdakwa dengan jeratan pasal UU RI No 17 tahun 2016 Perlindungan Anak tepatnya pasal perubahan 76E sebagaimana pasal 82 ayat 1, Kemudian masuklah agenda persidangan pada Pembuktian dimana saksi-saksi dihadirkan dan disitulah fakta-fakta hukum secara materil diurai dan disajikan oleh Jaksa Penuntut sampai saksi ahli dokter kandungan kalau tidak salah Dr. Sis,” sambungnya.
Ia juga menyampaikan, ada beberapa ketidaksesuaian peristiwa yang disampaikan saksi yang tidak ada sama sekali melihat kejadian hanya pengakuan anak korban kepada neneknya setelah neneknya melihat perubahan fisik bagian organ tubuh yang membesar.
“Memang beberapa kejadian ada yang diakui oleh terdakwa, namun menurut saya tidak cukup disamping kejadiannya sudah lama sehingga visum et refertum pun menjadi luka lama dan itu diakui oleh Dokter ahli bahwa tidak harus penyebabnya oleh persetubuhan,” lanjut Ruslandi.
Ruslandi mengungkapkan, kejadian tersebut diakui 3 kali dan memang atas dasar rasa yang saling menyukai, hal tersebut diperoleh analisa dan resume dari ahli Peksos bahwa anak yang ditinggal (tidak dalam naungan) kedua orangtuanya sejak kecil maka terkadang rindu sosok dan kasih sayang figur seorang ayah. Itulah yang akhirnya diperoleh dari sang guru ngaji dan jika dirunut dari cerita, banyak terjadi rangkaian peristiwa yang tidak diungkapkan dalam persidangan.
“Bedakan cabul dengan persetubuhan ya,
cabul lebih kepada tindakan secara sepihak misal ada wanita lewat dicolek organ tubuhnya, tampil tidak senonoh dan tidak harus ada lawan interaksi, misal bugil dijalan, dan lain-lain. Tapi Persetubuhan itu peristiwa yang hanya dapat berlangsung atas kesadaran kedua orang berlainan jenis dan biasanya atas adanya rasa dan kehendak yang sama,” tuturnya.
Sementara itu, Toni yang juga memberikan tanggapannya melalui pesan grup aplikasi, Ia berharap JPU menuntut sesuai ancaman maksimal yaitu 15 tahun.
“Sebenarnya saya berharap Jaksa Penutut Umum menuntut Terdakwa 15 tahun sesuai ancaman maksimal yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang- Undang Perlindungan Anak. Alasannya, karena Terdakwa sudah merusak masa depan korban yang masih anak. Korban akan kehilangan rasa percaya diri karena masa depannya telah dirusak oleh Terdakwa,” kata Toni.
Sehingga kini, ia berharap kepada Majelis Hakim untuk memvonis terdakwa dengan hukuman 15 tahun penjara sesuai ancaman maksimal.
“Meski begitu, saya berharap kepada Majelis Hakim agar memvonis Terdakwa 15 tahun penjara, sesuai ancaman maksimal Pasal 81 ayat (1) Undang- Undang Perlindungan Anak. Itu dibolehkan, yang penting tidak melebihi ancaman hukuman dari Pasal 81 ayat (1) tersebut,” tandasnya.
Menurut Toni, Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya.
“Coba bayangkan kalau anak perempuan Jaksa atau Hakim menjadi korban persetubuhan? Di situ nurani digunakan,” ujarnya.
“Dari sisi hukum, Hakim memvonis Terdakwa lebih tinggi dari tuntutan Jaksa itu tidak melanggar KUHAP karena tidak ada satupun Pasal di dalam KUHAP yang mengatur bahwa Hakim dalam memutus pemidanaan harus sesuai rekuisitor (tuntutan) Jaksa,” terangnya.
“Justru sudah banyak yurisprudensi Hakim memutus lebih tinggi dari tuntutan Penuntut Umum, diantaranya dalam putusan Mahkamah Agung No. 510 K/Pid.Sus/2014, Majelis Hakim Agung menghukum Terdakwa 18 tahun penjara, lebih tinggi tiga tahun dari tuntutan Jaksa,” imbuh Toni. (Ari)