Jurnal5.com - Karawang - Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menekankan pentingnya setiap warga masyarakat melibatkan diri dalam kerja-kerja jurnalistik. Namun demikian, menjalankan kegiatan jurnalisme tidaklah dimaksudkan agar kita meninggalkan pekerjaan utama dan beralih menjadi wartawan yang sehari-harinya melulu mencari dan mempublikasikan berita.
Hal tersebut disampaikan Wilson Lalengke saat memberikan materi Jurnalisme Warga bagi peserta Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Jurnalistik yang berasal dari kalagan pekerja atau buruh di Kabupaten Karawang, Kamis, 29 September 2022. Acara diklat itu diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Logam Elektrik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPC FPS LEM SPSI) Karawang bekerjasama dengan PPWI.
"Saat ini, dengan dukungan media yang disediakan oleh jaringan internet berupa media online yang hampir tidak terbatas, setiap warga masyarakat semestinya masuk ke dalam lingkup kerja-kerja jurnalisme. Tapi bukan berarti, para peserta diklat harus meninggalkan pekerjaan utama yang digeluti selama ini kemudian masuk menjadi wartawan yang sehari-harinya cari berita. Kita memanfaatkan dunia jurnalistik itu untuk meningkatkan performa pekerjaan, usaha, bisnis, dan perjuangan kita, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama," jelas alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini dalam bagian materinya tentang Jurnalisme dan Pewarta Warga.
Wilson Lalengke yang tampil di sesi pertama itu menguraikan secara sederhana terkait bagaimana media massa dapat mempengaruhi dan bahkan menciptakan sesuatu. Lulusan pasca sarjana dari tiga universitas bergengsi di Eropa itu (Birmingham University, Inggris; Utrecht University, Belanda; dan Linkoping University, Swedia - red) menggunakan contoh-contoh dan ilustrasi yang mudah dipahami peserta.
"Pemberitaan di media massa pasti akan selalu diwarnai oleh framing atau sisi pemberitaan tertentu yang tujuan utamanya adalah untuk menggiring pemikiran pembaca, pendengar, dan pemirsa kepada sesuatu yang diinginkan pembuat berita atau penyebar informasi. Contohnya, selama 30 tahun lebih, Pemerintah Orde Baru mengisi konten media massa saat itu dengan informasi utama tentang padi, beras, dan nasi. Semua isi media massa, seperti televisi, koran, radio, dari bangun pagi ke bangun pagi berikutnya, semuanya pasti terkait dengan sawah, padi, beras, dan nasi sebagai makanan utama. Alhamdulillah, hasilnya Indonesia bisa surplus beras kala itu. Namun dampaknya, seluruh rakyat Indonesia, yang awalnya makan berbagai macam makanan sesuai daerah dan tradisinya, sekarang merasa belum makan jika belum makan nasi. Orang Papua yang dulunya terbiasa makan umbi-umbian dan sagu, sekarang dianggap kelaparan jika tidak ada beras di sana, sementara umbi dan sagu melimpah di daerahnya," jelasnya panjang lebar.
Selain memberikan pemahaman tentang kekuatan media yang selalu digunakan untuk merekayasa situasi dan kondisi sosial masyarakat, Wilson Lalengke juga mengingatkan pentingnya mencari informasi sekomprehensif atau selengkap-lengkapnya tentang sesuatu hal sebelum mengambil kesimpulan atas sesuatu hal itu. Kesalahan dalam menarik kesimpulan atas sebuah berita berakibat kepada kesalahan bersikap yang pada akhirnya melakukan tindakan yang salah juga. Keadaan ini dia gambarkan melalui ilustrasi sebuah foto yang dipotong menjadi 3 bagian yang dapat berdiri sendiri-sendiri.
"Ketika kita sambungkan ketiga potongan foto ini, maka kita akhirnya paham apa sesuangguhnya yang digambarkan pada foto tersebut. Demikianlah saat menerima sebuah informasi, sebaiknya jangan segera percaya dan langsung menyimpulkan, tetapi alangkah baiknya kita kumpulkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber tentang suatu hal atau masalah atau kejadian. Saat sudah terkumpul banyak informasi, kita pasti akan bisa mengambil kesimpulan yang lebih tepat dan benar, sehingga sikap dan tindakan yang mengikutnya juga akan tepat dan benar," beber Wilson Lalengke ya